“Namanya juga travelling, bukan jalan-jalan biasa
loh!”, itu pesan yang selalu aku ingat saat tiba di Lombok. “hmm..”, aku hanya
bisa bergumam memikirkan kejutan apa yang akan aku dapatkan di Lombok, kota dari
Indonesia Timur Bagian Barat yang aku dambakan selama ini.
“Selamat pagi, selamat datang di Desa Sade,
rumahnya orang Sasak. Tempat seluruh keluarga kami tinggal”, salam seorang
pemandu asli Desa Sade sambil tersenyum kepada kami yang baru saja memasuki
gapura Desa Sade. “Whoaaa…”, semangat Bapak pemandu
menjadikan kesan pertamaku semakin bergebu.
Dan, ya! Aku terkesima melalui pandangan pertama melihat
sebuah desa yang begitu sederhana dan sama sekali tidak menutup diri untuk
orang lain, sebaliknya mereka begitu hangat menyambutnya dan dengan bangga
memperkenalkan desanya seolah itulah permata terakhir yang mereka miliki. Ah,
seandainya seluruh penjuru nusantara punya semangat melestarikan seperti ini. Kamu
tahu? Apa yang aku temukan di sini tidak akan kamu temukan di kota metropolitan
tempat aku tinggal. Di sini, semuanya masih 100 persen alami, desa yang lebih
terlihat seperti sebuah komplek kecil nan sederhana ini beratapkan jerami,
berdindingkan anyaman bambu dan beralaskan tanah liat yang dicampur dengan
kotoran kerbau. Jadi, selamat datang di
Desa Sade, Nusa Tenggara Barat.
“Banyak orang datang ke sini, dari luar negeri juga banyak,
dari tivi-tivi juga ada TransTV kemarin pernah, Trans7. Cuma mau liat kehidupan
di sini”, jelas pemandu wisata sambil terus berjalan menyusuri desa. But wait, let me think. “Oh, tapi kok di
Desa sepi ya, Pak? Orang-orangnya kemana?”, aku bertanya penasaran. “Sekarang
sudah mau siang. Ada yang di pasar, ada yang di sawah atau di kebun, soalnya
yang tinggal di sini memang orang Sasak, tapi kalau bekerja tu gapapa kerja di luar
Desa nanti malamnya pulang lagi. Asal kalau menikah dengan orang diluar, harus
jadi orang dalam dulu calonnya”, jelasnya dengan logat Sasak.
Detik setelah mendengar jawaban itu, sebagai turis sontak aku
langsung tersadar kalau rumah memang menjadi tempat yang paling indah untuk
kembali beristirahat dan satu-satunya tempat untuk kembali pulang selelah
apapun dan sekeras apapun kehidupan dunia luar yang kita temui. Lebih-lebih,
dari sini pula aku melihat bahwa cinta tidak menjadi alasan bagi kita untuk
tidak pulang, sebaliknya cinta yang kita temui dari luar itulah yang akan kita
bawa bersama untuk pulang ke tempat ternyaman yang membahagiakan dengan
kesederhanaannya.
Beranjak dari langkah demi langkah mengelilingi Desa Sade
membuatku bercermin dengan kehidupan yang sekarang aku jalani, bahwa setiap
manusia punya rumahnya masing-masing untuk kembali pulang. Dan bagi warga
pengguna Bahasa Sasak serta keturunannya, inilah rumah yang sesungguhnya.
“Iya, kalau yang ada di sini kerjanya jual kain buatan kami
sendiri. Di sini satu toko itu hasil kerja sama empat sampai lima rumah tangga
yang jualan, jadi bukan punya sendiri tapi sama-sama. Mulai dari kapas jadi
benang, diwarna dan jadi kain, sampai ditenun jadi kain bagus-bagus”, jelas pemandu
tepat saat kami sampai di toko yang letaknya agak di atas dibandingkan toko dan
rumah lain. Bilik terbuka yang disebut masyarakat Desa Sade sebagai toko ini adalah
upaya kreatif mereka untuk melestarikan apa yang mereka miliki dengan menjual
hasil karya sendiri baik kepada wisatawan lokal maupun mancanegara. Kain ini
berukuran kurang lebih 200x110 cm sama seperti kain yang dijual pada umumnya.
Tidak perlu takut untuk membayar harga kain penuh proses dan cerita unik dalam
pembuatannya ini, karena siapa saja dapat memiliki kain ini dengan merogoh
kocek sekitar Rp 100.000-400.000 tergantung motif dan tingkat kesulitan
pembuatannya.
“Sini-sini”, sambut Ibu penenun yang sedang menenun kainnya
yang belum utuh kepadaku yang sedang melirik kesana-kemari. Kegelisahanku di
sana bukan karena aku tidak nyaman, melainkan karena tingginya rasa penasaranku
bagaimana cara menenun benang menjadi kain tanpa jarum sama sekali.
“Gini caranya, duduk di sini, kakinya selonjor ya”, pinta Ibu
penenun sembari mengeratkan sebuah kayu yang dipasak dipinggang bagian belakang
dan di depan perutku seolah agar aku duduk tak berpindah dan agar kain tetap
ajeg. Sensasi menenun tidak semata-mata membutuhkan keterampilan tangan saja, melainkan
juga keterampilan mata dalam melihat warna-warni kain yang sedang ditenun dan
keterampilan duduk dalam waktu lama sebagai faktor utama kekuatan menenun. Lebih
dari sekedar sensasi, aku bangga menjadi perempuan karena menenun itu tidak
mudah dan menenun bagi saudaraku ini adalah sebuah keseharian yang wajib
dilakukan perempuan selain memasak. Dan ternyata bagi penduduk desa, perempuan dianggap
sudah mampu membangun rumah tangga kalau mereka sudah bisa menenun, makanya
setiap generasi perempuan di Desa Sade hukumnya wajib belajar menenun. Ini nih maknanya menjadi perempuan
yang cantik bukan hanya paras, melainkan juga kesabaran hati dan keuletan karakter
yang kuat terpancar dari keseharian.
“Tangan dua-duanya pegang ini”, lanjutnya sambil memasukan
tongkat tebal dan kuat sepanjang lebar kain tenun yang akan dibuat dari sebelah
kananku ke dalam benang berjarak yang siap ditenun. “Nah, ini dibawa ke sini
kuat-kuat”, sambil mempraktikkan cara mendorong dengan kuat tongkat tebal tadi
dari jauh ke arah dekat mendekati badan.
Sehari bersama Desa Sade menjadikan aku penuh rasa syukur,
sungguh luar biasa. Betapa arti kehidupan sangat nampak dari keseharian
masyarakat karena bagi mereka segala sesuatu perlu proses dan proses ini tidak
patut diganti atau dihilangkan. Proses ini pulalah yang menjadikan mereka
nyaman dan selalu ingat bahwa lantai tanah liat berdinding anyaman bambu dan
beratapkan jerami adalah rumah paling indah, nyaman dan terjaga.
Percayalah, indahnya Lombok tidak hanya diukur dari seberapa
luas hamparan pantai, seberapa tinggi Gunung Rinjani atau seberapa eksotis
Bukit Merese saja, melaikan seluruh isinya. Perjalananku diakhiri dengan foto
bersama dan alih-alih memilih kain yang cocok untuk dibawa pulang. Tunggu, aku
rasa bukan hanya kain yang aku bawa pulang. Sebuah kenangan indah tentang arti
kehidupan dari salah satu bagian Indonesia Timur menjadi mutiaraku dan akan aku
bagikan kepada pecintanya. Mutiara inilah yang menjadi cerminan cantiknya Ibu
Pertiwi dari tanah Lombok dengan segala kesabaran, ketulusan, ketekunan,
keterampilan serta keuletannya seperti sehelai kain tenun khas Desa Sade.
Comments
Post a Comment